Hi. . .Assalamualaikum Wr.Wb

milkysmile
WELCOME ! Suatu kehormatan bagi saya atas kunjungannya dan jangan lupa mampir lagi di www.duniamegumi.blogspot.com yaa^^ !

YANG DATENG

Selasa, 05 April 2011

Terlambat


Rumah sakit ditempat saya bekerja, biasanya sangat sepi pada bulan
Januari. Saya berada di ruang suster jaga di lantai tujuh. Saat itu
sudah jam 9 malam.
Saya sampirkan sthetoscope melingkari leher saya dan menuju kamar
712, kamar terakhir dari lantai 7. Kamar 712 dimasuki pasien baru
bernama Tuan Williams, seorang laki laki yang pendiam dan tidak
menceritakan tentang keluarganya.
Pada saat saya memasuki kamar, matanya sepertinya ingin tahu siapa
yang datang, tetapi akhirnya sayu ketika mengetahui saya yang
memasuki kamar tersebut. Saya tekan stethoscope ke dadanya dan
mendengarkannya.
Cepat, perlahan, kadang kadang tidak beraturan. Ada indikasi bahwa dia
menderita sedikit. Ia menderita serangan jantung beberapa jam yang
lalu.
Lalu ia berkata, "Suster, maukah kamu....." lalu ia terdiam, dan dari
kelopak matanya mengalir air mata.. saya sentuh tangannya menunggu
kelanjutan bicaranya, lalu ia mengusap airmatanya dan berkata "Maukah
engkau menelpon anakku dan memberitahukannya bahwa aku terkena
serangan jantung... saya tinggal sendirian, dan dia adalah satu
satunya sanak saudara saya."
Pernafasannya tiba tiba saja mencepat, lalu aku naikkan kadar
oxigennya menjadi 8 liter permenit. Lalu saya katakan, tentu saja
saya akan telpon dia, sambil memperhatikan mukanya. Dia menarik
sprei, sehingga dia dapat maju, dari air mukanya terpancar rasa
penting sekali, dan berkata "Maukah engkau memanggilnya sekarang?
Secepat engkau bisa?" Ia bernafas cepat, terlalu cepat. Saya akan
menelepon dia secepatnya kata saya sambil menepuk pundaknya, lalu
saya menuju pintu, mematikan lampu, dan ia menutup mata
dari wajah yang sudah berusia 50 tahun itu. Sebelum saya sampai ke
pintu bapak itu memanggil saya lagi "Suster, bisakah anda memberikan
saya kertas dan pen? "
Lalu saya ambil kertas bekas berwarna kuning, dan pen dari kantong
saya, lalu meninggalkan kamar tersebut menuju ruang suster jaga.
Lalu saya mencari berkas Tuan William, dan mendapatkan nomor telpon
anak Tuan Williams dari sana lalu saya mulai meneleponnya. Suara yang
halus menjawab. "Janie ini Sue Kidd, suster dari Rumah sakit, Saya
menelepon kamu tentang ayah kamu, dia masuk Rumah sakit sore ini
karena sedikit serangan jantung dan ..."
"Oh tidak! ia menjerit mengagetkan saya. "Dia tidak dalam keadaan
sekarat kan?"
"Sekarang dalam keadaan stabil," jawab saya.
Semua terdiam, dan saya menggigit bibir saya. "Kau tidak boleh
membiarkan dia mati!" katanya. Suaranya begitu sedih, membuat tangan
saya gemetar memegang gagang telepon itu. "Ia dalam penanganan yang
paling baik", jawab saya.
"Tapi kamu tidak mengerti," jawabnya. "Ayah dan saya tidak pernah
bicara. Pada ulang tahun ke 21 saya, kami berkelahi, mengenai pacar
saya, lalu saya kabur dari rumah. Saya. Saya tidak mau kembali.
Beberapa bulan ini saya ingin menemuinya untuk meminta maaf, dan
kalimat terakhir yang saya katakan kepadanya adalah aku membencimu!".
Saya mendengar Janie terisak isak.
Saya duduk, mendengarkan dan air mata saya membakar mata saya. Seorang
ayah dan anak, masing masing sangat kehilangan, sehingga membuat saya
memikirkan ayah saya yang jauh, dan sudah lama rasanya saya tidak
mengatakan aku sayang Papa.
Ketika Janie berusaha mengendalikan tangisnya, saya dalam hati berdoa
"Tuhan biarkan anak ini menemukan pengampunan." "Saya datang dalam 30
menit," katanya dan klik! Sambungan telepon terputus. Saya berusaha
menyibukkan diri dengan merapikan kembali file file di meja, tetapi
saya tidak bisa berkonsentrasi.
Kamar 712! Ya saya tahu saya harus kembali ke kamar 712!
Saya setengah berlari kekamar 712 dan secepatnya membuka pintu. Tuan
Williams terbaring tidak bergerak, dan saya mengecek denyut nadinya.
Tidak ada! " Kode 99, kamar 712. Kode 99. Stat." Pemberitahuan
tersebut terdengar di seluruh rumah sakit dalam sekejab, sesudah saya
laporkan ke Dokter jaga. Tuan William terkena serangan jantung!
Dengan secepatnya saya membuat nafas buatan dua kali, lalu menaruh
tangan saya di jantungnya dan mulai memompa dadanya. Saya menghitung
Satu, Dua,Tiga. Pada hitungan ke 15 saya kembali membuat nafas
buatan. Kemanakah bantuan Dokter? Lalu saya lakukan kembali memompa
jantungnya. Saya berkata Oh Tuhan jangan biarkan orang ini mati
anaknya sedang dalam perjalanan, dan jangan biarkan berakhir
seperti ini. Pintu kamar terbuka lebar, Dokter dan suster lainnya
masuk, dan mendorong alat alat bantu. Dokter langsung mengambil alih
memompa jantung. Saya berkata Tuhan, jangan biarkan berakhir seperti
ini, jangan dalam keadaan kepahitan dan kebencian. Anaknya dalam
perjalanan, dan biarkan dia mendapatkan kedamaian. "Mundur" teriak
seorang dokter. Saya menyerahkan kepadanya pengejut lisrik, lalu ia
taruh di dada tuan Williams beberapa kali kami lakukan, tetapi tidak
berhasil, Tuan Williams sudah meninggal.
Suster yang lain mencopotkan selang oksigen, dan alat alat dari tubuh
Tuan Williams, kemudian satu persatu meninggalkan ruangan tersebut,
hanya tinggal saya sendiri sambil bergumam "Bagaimana hal ini bisa
terjadi? Bagaimana? Bagaimana saya menghadapi anaknya?"
Ketika saya keluar dari kamar tersebut, saya melihat seseorang
berdiri di dekat air mancur, dokter yang tadi berada dikamar 712
berdiri disampingnya, berbicara dengannya sambil memegang bahunya.
Lalu dokter itu pergi,meninggalkannya. Dan saya menduga bahwa orang
tersebut adalah Janie.
Janie langsung menyandarkan badannya ke dinding. Rasa terpukul
terlihat dari wajahnya. Dokter telah memberitahukan bahwa ayahnya
telah pergi.
Saya menggandeng tangannya dan membawanya ke ruangan suster. Kami
duduk di bangku hijau tanpa berkata apa-apa. Ia menatap tajam
kalender, dengan tatapan kosong.
"Janie, maafkan saya" lalu Janie menjawab, "Saya tidak pernah
membencinya, kamu tahu, saya mencintainya". Dalam hati saya
berkata "Tuhan tolong Janie"
Tiba tiba Janie berkata " Saya mau melihat ayah saya". Dalam pikiran
saya mengatakan Mengapa engkau ingin menambah kepedihan? Melihat
ayahnya hanya akan menambah kesedihan. Saya berdiri, dan
merangkulnya, lalu kami berjalan perlahan lahan menuju pintu kamar
712.
Sebelum masuk kamar, saya memegang tangan Janie sedikit keras,
berharap agar Janie akan berubah pikiran. Janie membuka pintu kamar,
dan kami menuju ke arah tempat tidur. Janie duduk dipinggir tempat
tidur, dan membenamkan mukanya ke seprai. Saya berusaha untuk tidak
melihat Janie pada saat seperti ini, sedih, sedih ditinggalkan
seseorang dicintainya, yang telah lama tidak bertemu.
Saya bersandar ke meja disamping tempat tidur, dan tangan saya
menyentuh ke sepotong kertas kuning, saya ambil dan membacanya :
Janie ku sayang, aku memaafkanmu. Aku berdoa agar engkau juga
Memaafkanku.
Aku tahu engkau mencintaiku. Aku mencintai engkau juga.
Ayah.

Kertas itu membuat tangan saya bergetar ketika saya menyerahkannya
kepada Janie. Janie membacanya sekali, kemudian dua kali, Wajahnya
perlahan-lahan bersinar, kedamaian mulai terpancar dari matanya.
Kemudian ia memeluk kertas tersebut. Kataku "Terima kasih Tuhan"
sambil melihat ke arah jendela. Beberapa bintang terlihat bersinar di
kegelapan malam. Butiran salju jatuh dijendela dan mencair, pergi
selamanya.
Kehidupan terlihat sama rapuhnya seperti butiran salju. Terima kasih
Tuhan, bahwa Hubungan seringkali dapat rapuh seperti butiran salju,
tetapi dapat diperbaiki kembali, walaupun tidak ada waktu yang indah
yang dialami bersama. Saya bergegas keluar dari kamar, dan menuju
telepon. Saya ingin menelepon ayah saya, dan mengatakan "Saya cinta
engkau"

 ----------
read more “Terlambat”
read more...

Keluarga Semut


Huh ... lelahnya aku,...seharian menyelesaikan
pekerjaan kantor yang tak habis-habisnya.
Kurebahkan tubuhku di lantai depan televisi, sementara
kubiarkan TV menyala untuk tetap menjaga agar aku
tidak terlelap. Suhu yang sedikit panas memaksaku
membuka kemeja dan membiarkan kulitku bersentuhan
dengan sejuknya lantai.

"aaauww ... brengsek!" gumamku
Segera kutepis sesuatu yang menggigit lenganku hingga
ia terjatuh di lantai, ternyata seekor semut hitam.

"Kurang ajar! Apa ia tidak mengerti kepalaku begitu
penat dan tubuhku ini seperti mau hancur? Apa ia juga
tidak tahu kalau aku sedang beristirahat?" pikirku
seraya kembali merebahkan tubuhku.

Tapi, belum sampai seluruh tubuh ini jatuh menempel
lantai, "addduuhhh!" Lagi-lagi semut kecil itu
menggigitku. Kali ini punggungku yang digigitnya dan
gigitannya pun lebih sakit. "heeeh, berani sekali
makhluk kecil ini," gerutuku kesal.

Ingin rasanya kulayangkan tapak tangan ini untuk
membuatnya mati tak berkutik 'mejret' di lantai. Namun
sebelum tanganku melayang, ia justru sudah
mengacung-acungkan kepalan tangannya seperti
menantangku bertinju. Kuturunkan kembali tanganku yang
sudah berancang-ancang dengan jurus 'tepokan maut',
kuurungkan niatku untuk menghajarnya karena kulihat
mulutnya yang komat-kamit seolah mengatakan sesuatu
kepadaku. Awalnya aku tidak mengerti apa yang
diucapkannya, tapi lama kelamaan aku seperti memahami
apa yang diucapkannya.

"Hey makhluk besar, anda menghalangi jalan saya! Apa
anda tidak lihat saya sedang membawa makanan ini untuk
keluarga saya di rumah ..." Rupanya ia begitu marah
karena aku menghambat perjalanannya, lebih-lebih
sewaktu punggungku menindihnya sehingga ia harus
terpaksa menggigitku.

Akhirnya kupersilahkan ia melanjutkan perjalanannya
setelah sebelumnya aku meminta maaf kepadanya. Susah
payah ia membawa sisa-sisa roti bekas sarapanku pagi
tadi yang belum sempat kubersihkan dari meja makan.
Kadang oleng ke kanan kadang ke kiri, sesekali ia
berhenti meletakkan barang bawaannya sekedar
mengumpulkan tenaganya sembari membasuh peluhnya yang
mulai membasahi tubuh hitamnya.

Kuikuti terus kemana ia pergi. Ingin tahu aku di pojok
mana ia tinggal dari bagian rumahku ini. Ingin
kutawarkan bantuan untuk membantunya membawakan
makanan itu ke rumahnya, tapi aku yakin ia pasti
menolaknya. Berhentilah ia di sebuah sudut di samping
lemari es sebelah dapur. Di depan sebuah lubang kecil
yang menganga, ia letakkan bawaannya itu dan kulihat
seolah ia sedang memanggil-manggil semut-semut di
dalam lubang itu. Satu, dua, tiga .... empat dan ....
lima semut-semut yang tubuhnya lebih kecil dari semut
yang membawa makanan itu berlarian keluar rumah
menyambut dengan sukaria makanan yang dibawa semut
pertama itu. Dan, eh ... satu lagi semut yang besarnya
sama dengan pembawa roti keluar dari lubang. Dengan
senyumnya yang manis ia mendekati si pembawa roti,
menciumnya, memeluknya dan membasuh keringat yang
sudah membasahi seluruh tubuh semut pembawa makanan
itu.

Hmmm ... menurutku, si pembawa roti itu adalah kepala
keluarga dari semut-semut yang berada di dalam lubang
tersebut. Kelima semut-semut yang lebih kecil adalah
anak-anaknya sementara satu semut lagi adalah istri di
pembawa roti, itu terlihat dari perutnya yang agak
buncit. "Mungkin ia sedang mengandung anak ke enamnya"
pikirku.

Semut suami yang sabar, ikhlas berjuang, gigih mencari
nafkah dan penuh kasih sayang. Semut istri tawadhu'
dan qonaah menerima apa adanya dengan penuh senyum
setiap rizki yang dibawa oleh sang suami, juga ibu
yang selalu memberikan pengertian dan mengajarkan
anak-anak mereka dalam mensyukuri nikmat Tuhannya.
Dan, anak-anak semut itu, subhanallah ... mereka
begitu pandai berterima kasih dan menghargai pemberian
ayah mereka meski sedikit. Sungguh suami yang
dibanggakan, sungguh istri yang membanggakan dan
sungguh anak-anak yang membuat ayah ibunya bangga.

Astaghfirullah ..., tiba-tiba tubuhku menggigil, lemas
seperti tiada daya dan brukkk .... aku tersungkur.
Kuciumi jalan-jalan yang pernah dilalui semut-semut
itu hingga menetes beberapa titik air mataku. Teringat
semua di mataku ribuan wajah semut-semut yang pernah
aku hajar 'mejret' hingga mati berkalang lantai ketika
mereka mencuri makananku. Padahal, mereka hanya
mengambil sisa-sisa makanan, padahal yang mereka ambil
juga merupakan hak mereka atas rizki yang aku terima.

Air mataku makin deras mengalir membasahi pipi,
semakin terbayang tangisan-tangisan anak-anak dan
istri semut-semut itu yang tengah menanti ayah dan
suami mereka, namun yang mereka dapatkan bukan makanan
melainkan justru seonggok jenazah.

Ya, Allah ... keluarga semut itu telah mengajarkan
kepadaku tentang perjuangan hidup, tentang kesabaran,
tentang harga diri yang harus dipertahankan ketika
terusik, tentang bagaimana mencintai keluarga dan
dicintai mereka. Mereka ajari aku caranya mensyukuri
nikmat Tuhan, tentang bagaimana perlunya ikhlas,
sabar, tawadhu' dan qonaah dalam hidup.

Hari-hari selanjutnya, ketika hendak merebahkan tubuh
di lantai di bagian manapun rumahku aku selalu
memperhatikan apakah aku menghambat dan menghalangi
langkah atau jalan makhluk lainnya untuk mendapatkan
rizki. Ingin rasanya aku hantarkan sepotong makanan
setiap tiga kali sehari ke lubang-lubang tempat
tinggal semut-semut itu. Tapi kupikir, lebih baik aku
memberinya jalan atau bahkan mempermudahnya agar ia
dapat memperoleh dengan keringatnya sendiri rizki
tersebut, karena itu jauh lebih baik bagi mereka.

 
read more “Keluarga Semut”
read more...

Lelaki di Massachusetts Avenue



Ia turun di Dupont Circle tanpa membayar karcis. Sopir bis itu
bersungut-sungut melihat orang asing itu berlalu begitu saja. "Bullshit!"
kutuknya. Para penumpang lain yang turun bersamanya memandangnya dengan rasa
iba. Ada pula yang memandang sinis.

Lelaki itu berjalan labil, menyusuri trotoar Massachusetts Avenue ke arah
barat laut. Kepalanya pening. Matanya berkunang-kunang. Dari mulutnya
menyeruak bau minuman keras. Ia merasakan mulutnya kering dan pahit,
sementara perutnya terasa perih dan menahan lapar.

Rasa jengkelnya menggelegak karena hampir semua orang yang berjalan
berlawanan arah dengannya memandangnya remeh. Ia mengepalkan tangannya
kepada seorang lelaki bule yang memperhatikannya dengan senyuman mengejek.
Mungkin karena rasa takut, lelaki berjas itu berlari secepatnya.

Ia terus melangkah. Matanya bersinar ketika ia menemukan sebuah tong sampah
di dekat sebuah tiang listrik. Di bukanya tutup tong itu. Lalu ia
mengaduk-aduk isinya. Tangannya menarik beberapa potong tulang ayam
berdaging sedikit. Ia mengganyang makanan sisa itu tanpa berpikir panjang.
Dari gundukan sampah itu tersembul sepotong yang sudah berdebu. Lagi, ia
memakannya.

Kini ia merasa lebih kuat. Lalu ia terus melangkah hingga akhirnya ia tiba
di Islamic Center. Dari trotoar ia menatap masjid yang ada di hadapannya. Ia
melihat anak-anak berlarian di pelataran masjid itu. Tampak pula sekelompok
lelaki sedang bercakap-cakap di dekat pintu gerbang Pusat Islam itu, dan
beberapa wanita berbusana Muslimah sedang bermain-main dengan anak-anak yang
ada di pelataran.

Telah beberapa kali ia mendatangi Islamic Center itu dan memandanginya dari
trotoar. Betapa ingin melangkah masuk ke Pusat Islam itu, dan kalau mungkin
memasuki masjidnya. Tapi, ia merasa tidak punya nyali untuk berbuat itu. Ia
merasa dirinya terlalu hina dan kotor untuk berada di tempat suci itu.
Dosa-dosaku sudah terlalu banyak, pikirnya. Aku malu kepada Tuhan.

Hari telah petang. Langit kota Washington, DC masih biru meski tidak sebiru
siang tadi. Angin musim panas berembus pelan, menggerahkan badan. Lelaki
berkulit cokelat itu masih berdiri di pagar besi. Matanya basah dan sembab.
Ia kini hampir menguasai kesadarannya sepenuhnya.

Ada bisikan lembut agar ia memasuki kompleks yang ada di hadapannya.
"Masuklah. Inilah saatnya untuk mengakhiri mimpi burukmu dan mengawali
hidupmu yang baru. Kamu masih punya harapan untuk meraih kebahagian. Allah
Maha Pengampun. Kamu tidak terlambat untuk bertaubat. Ayo, masuklah!"

Ia merasa gamang. Masuk. Jangan. Masuk. Jangan. Masuk. Jangan. "Ah, jangan.
Jangan masuk, Bung. Sudah tanggung. Kamu tukang slebor. Tukang main
perempuan. Suka berjudi lagi. Kamu telah menipu ayah-ibumu di tanah air
selama ini. Bagaimana Tuhan akan mengampunimu? Dosamu sudah segunung.
Sudahlah. Jalani saja hidupmu seperti sekarang ini." Demikian bisikan
tandingan di hatinya.

                .....

Ia ingat, dulu, tiga tahun lalu, dan sebelum itu, ia merasa cukup akrab
dengan masjid, walau tidak akrab benar. Ya, di tanah airnya ia biasa
melaksanakan shalat Jumat di masjid meskipun shalat-shalat lainnya di rumah.
Sesekali ia menghadiri ceramah dhuha di masjid besar yang ada di kotanya.
Itu dilakukannya hingga ia menamatkan SMA-nya.

Ia ikut ujian seleksi ke perguruan tinggi, tapi gagal. Ia kecewa dan
terpukul. Karena orang tuanya kaya, ia minta disekolahkan ke Amerika. Orang
tuanya setuju saja asal ia belajar dengan tekun di perantauan. "Sebenarnya
kami khawatir, Nak. Bukan khawatir kamu gagal belajar, tapi khawatir kamu
terbawa arus kehidupan buruk di sana. Di Amerika kan banyak mahasiswa kumpul
kebo dengan sesamanya," kata ibunya pada waktu ia mengajukan niatnya kepada
ayah-ibunya untuk studi di luar negeri itu.

"Anak kita kan sudah dewasa, Bu. Sudah bisa membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk. Kita tidak perlu khawatir," sela ayahnya, membela anaknya
yang satu-satunya itu.

"Ya, Bu. Percayalah kepada saya. Saya kan selalu ingat kepada Tuhan,"
katanya pula.

Maka ia pun berangkat ke negara tujuannya tanpa hambatan yang berarti. Ia
memilih suatu universitas swasta di ibukota Amerika. Biaya hidup dan biaya
kuliah di sana mahal memang, tapi tak menjadi soal bagi orang tuanya yang
memang berada. Ia memilih jurusan Business Administration dengan harapan
kelak bila ia selesai studi dan kembali ke kampung halaman, ia punya bekal
pengetahuan yang dapat digunakannya untuk mengembangkan perusahaan ayahnya.

Tahun pertama adalah tahun yang paling sulit baginya. Ia belum sepenuhnya
menguasai bahasa masyarakat setempat. Makanan yang asing, budaya masyarakat
yang materialistis dan individualistis, juga telah menyebabkannya mengalami
gegar budaya. Nyaris ia memutuskan untuk menghentikan studinya pada akhir
semester pertama dan kembali ke tanah airnya. Untunglah ia mampu bertahan.
Malah, mulai tahun kedua dalam studinya, ia mulai betah tinggal di negeri
orang itu.

Pergaulannya juga semakin luas. Ia mempunyai lebih banyak teman pribadi.
Mungkin karena sejak tahun kedua itu ia tidak lagi tinggal di apartemen,
tapi di asrama mahasiswa. Di sinilah mimpi buruknya berawal.

Di asrama itu, ia tinggal sekamar dengan seorang teman bule. Si bule itulah
yang kerap mengajaknya menghadiri pesta dansa di sebuah gedung kumpulan
mahasiswa. Semula ia menolak ajakan temannya itu. Ia lebih suka tidur
berlama-lama di kamarnya pada akhir pekan itu. Namun, Jack terus merayunya.
Ia tak bisa menolak ajakan Jack yang keempat kalinya.

Ogah-ogahan ia mengikuti Jack ke tempat pesta itu. Lalu di sana ia ditawari
bir. Lagi, dengan berat hati, ia menerima tawaran itu. Demi pergaulan.
Seusai pesta ia melihat hampir tiap mahasiswa membawa pulang mahasiswi
pasangannya, entah ke mana. Ia sendiri dan Jack pulang ke asrama.

Itu dalam pesta pertama. Dalam pesta kedua, ia mulai ikut berdansa dengan
seorang mahasiswi bule dan meminum lebih banyak alkohol. Dalam pesta ketiga,
ia mabuk berat hingga ia harus dipapah Jack ke asrama. Dalam pesta keempat,
ia sempat digoda Chrissy, mahasiswi yang pernah mengajarinya berajojing.

"Mau datang ke kamarku sehabis pesta nanti?" tanya Chrissy.
"Untuk apa?" tanyanya.
"Ya, sekedar ngobrol-ngobrol," jawab Chrissy sambil memandangnya penuh arti.
"Oke, asal jangan terlalu lama. Aku merasa lelah."
Dalam perjalanannya ke asrama Chrissy, ia bergumam, "Baru di negaramu ini
aku bergaul sebebas ini."
"Oh, ya?" jawab Chrissy.
"Sungguh."
"Kamu pernah tidur dengan perempuan?"
Mestinya ia tersinggung ditanya seperti itu. Tapi, ini Amerika, di mana
orang dituntut bicara blak-blakan. Ia menggelengkan kepala.
"Aku percaya, kamu masih perjaka," kata wanita bule itu seraya tersenyum
centil.

Di kamar Chrissy, ia bercanda dengan wanita itu. Lalu... lalu peristiwa
keparat itu terjadilah. Ia tak ingat bagaimana kejadian terkutuk itu bisa
berlangsung. Tapi, seingatnya, Chrissylah yang memulainya. Keesokan harinya,
ia duduk termenung di kamarnya. Jack hanya senyum-senyum dikulum melihat
ulahnya. Ia menyesali perbuatannya tadi malam. Tapi, ternyata imannya sudah
rapuh. Bukannya insaf, ia malah terus terseret semakin jauh dalam
kemaksiatan. Ia merasa tidak tahan membiarkan begitu saja kenikmatan duniawi
yang terhidang di depannya. Godaan setan terlalu kuat.

Hari demi hari berlalu. Kesehatannya perlahan menurun. Juga gairah
belajarnya. Lalu nilai-nilai ujiannya pada akhir semester keempat berantakan
hingga ia diberi peringatan oleh universitasnya untuk memperbaiki
nilai-nilainya pada semester berikutnya. Ia gagal memperbaiki standingnya di
universitas pada semester tersebut. Ia pun di-DO.

Keluar dari universitas, ia hanya lontang-lantung tanpa tujuan yang pasti.
Untuk menghibur diri ia pergi melihat-lihat beberapa tempat menarik di kota
seperti Gedung Putih, Monumen Washington, Galeri Nasional, dan Gedung
Capitol. Ia hampir putus asa menghadapi masa depannya. Ia merasa berdosa
kepada ayah-ibunya yang setiap enam bulan sekali mengirimnya uang biaya
hidup dan kuliahnya, padahal kuliahnya telah gagal total. Pernah orangtuanya
itu menanyakan perkembangan studinya. Terpaksa ia berbohong dalam surat yang
dikirimnya ke tanah air untuk orang-orang yang dicintainya itu.

Sementara itu kebiasaannya menenggak minuman keras semakin menjadi-jadi.
Begitu juga keisengannya dengan perempuan. Lebih jauh lagi, ia mencoba-coba
mengadu nasib dengan berjudi di kasino sebuah hotel. Berkali-kali
dilakukannya perbuatan untung-untungan itu. Tapi, ia tak pernah menang.

Uang simpanannya mulai menipis. Untuk mempertahankan hari-hari esoknya ia
bekerja sebagai pencuci piring di sebuah restoran. Juga pernah ia bekerja
sebagai pengantar pizza kepada langganan-langganan. Tapi, karena ia sering
malas-malasan dan kadang-kadang mabuk sempoyongan, ia dipecat orang-orang
yang mempekerjakannya. Uangnya pernah habis sebelum waktunya. Ia menelpon
ayahnya minta uang lagi. Untuk kebutuhan ekstra, begitu ia berbohong.
Ayahnya mengabulkan permintaannya itu. Tapi uang itu cepat pula menguap di
tangannya. Sejak itu ia tak punya uang sama sekali. Bila lapar, ia mencari
makanan-makanan sisa di tong sampah. Bila malam tiba, ia tidur di mana saja.
Di stasiun kereta, emper toko, bangku taman, dan tempat lainnya. Ia
sekali-sekali sadar dari kekalutan hidupnya. Dalam keadaan demikian, ia
benar-benar menyesal dan ingin kembali ke jalan yang benar. Tapi, ia tak
tahu bagaimana harus memulainya...

"Brother," seseorang menyapanya dari samping. Lelaki itu agak kaget. Serta
merta ia menoleh ke arah datangnya suara itu. Di sampingnya berdiri seorang
lelaki muda berewokan dan seorang wanita berkulit putih yang berjilbab.
"Anda sedang apa di sini, Brother?" tanya pria berewok itu. "Saya... saya
hanya ingin melihat masjid," ujarnya. Matanya tampak masih berkaca-kaca.
"Anda Muslim?" Ia mengangguk.
"Saya salah seorang pengurus Islamic Center. Dan ini istri saya yang juga
bekerja di sini. Menurut istri saya, Anda telah beberapa kali datang ke sini
dan berdiri di pagar. Istri saya telah memperhatikan Anda dan menduga Anda
sedang mencari seseorang. Karena itu, kami menemui Anda," ucap pria berewok
itu.
"Saya... saya tidak sedang mencari siapa-siapa," ujarnya.
"Atau Anda sedang ada dalam kesulitan barangkali?" tanya wanita berkulit
putih itu.

Ia termenung sejenak. Mengusap keningnya yang berkeringat. Keringat itu juga
tampak mengguyupi bajunya yang sudah lusuh dan kumal.
"Ya, bolehkah kami mengetahui kesusahan Anda? Barangkali kami bisa menolong
Anda," kata pria berewok yang diduganya orang Arab itu.
"Saya, oh...saya hanya ingin memasuki masjid dan melakukan shalat. Sudah
lama saya meninggalkan shalat. Sudah lama saya melupakan Allah," kata lelaki
berkulit coklat itu.
"Oh, begitu. Mengapa Anda tampak bingung? Ayo, masuk sajalah, Brother," pria
berewok itu berkata ramah. Pandangan matanya tampak tulus.
"Tapi...tapi, saya malu menghadap Allah. Saya telah melakukan banyak dosa."
"Tidak ada dosa yang tidak akan diampuni Allah kecuali menyekutukan-Nya.
Anda yakinlah, Allah akan mengampuni Anda. Ayo, masuk. Ikutilah kami."

Suami-istri itu membimbingnya masuk. Sungguh, ia merasa tak pantas memasuki
tempat suci itu.
"Anda berasal dari mana, Brother?" tanya pria yang ramah itu ketika ia telah
dipersilakannya duduk di sebuah ruangan.
"Indonesia," ragu-ragu ia menjawab.
"Indonesia? O, negara yang penduduk Islamnya terbanyak di dunia itu, kan?"
Ia mengiakan. Pria itu lalu memperkenalkan dirinya dan juga istrinya. Pria
ramah itu bernama Hisyam Ahmad dan istrinya Hafsah. Ia sendiri
memperkenalkan namanya. Malah lebih jauh lagi, diceritakannya pula
pengalamannya selama berada di negeri Paman Sam dengan harapan pria asal
Syria dan istri Amerikanya itu dapat menyelematkannya dari penderitaannya.
"Masya Allah! Masya Allah!" ucap Brother Hisyam di antara kalimat-kalimat
yang dituturkannya. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Menangis tersedu-sedu bagai anak ingusan. Hisyam dan Hafsah memandanginya
dengan rasa kasihan.
"Sudahlah, Brother. Anda belum terlambat. Percayalah, Allah akan mengampuni
Anda. Asal Anda memang sungguh-sungguh bertaubat dan tidak akan mengulangi
kesalahan-kesalahan yang pernah Anda perbuat," hibur Hisyam.

Masih menutup muka, ia mengangguk-angguk.

"Sebentar lagi akan bergema adzan maghrib. Anda sebaiknya mandi dulu.
Marilah nanti kita melaksanakan shalat maghrib bersama," lanjut Hisyam. "Oh,
ya. Nanti akan saya sediakan satu stel pakaian bersih untuk Anda."
"Terima kasih. Terima kasih. Anda berdua baik sekali Brother Hisyam, Sister
Hafsah," sahutnya.

Lelaki itu lalu mandi. Ia mengguyur sekujur tubuhnya, dari atas kepala
hingga alas kaki. Seakan ingin membersihkan lumuran dosa dari dirinya, ia
menggosok seluruh tubuhnya itu berkali-kali. Selesai mandi, ia merasa lebih
segar. Hisyam ternyata tidak saja memberikan pakaiannya, tapi juga makanan
dan minuman. Ia menyantap hidangan itu dengan lahap di ruangan yang tadi. Di
sana Hisyam menemaninya.

"Ada sebuah kamar agak kecil yang dapat Anda gunakan untuk tidur di Pusat
Islam ini. Anda boleh tingal di sini sesuka Anda hingga Anda mendapatkan
pekerjaan dan tempat tinggal lain yang layak. Tapi, jika Anda secara
sukarela membantu pekerjaan kami di sini, Anda tentu boleh tinggal di sini
selama Anda mau," kata Hisyam. Tanpa ragu-ragu ia menyanggupi tawaran
Hisyam.

Sayup-sayup lelaki itu mendengar adzan maghrib yang dilantunkan dari dalam
masjid tanpa melalui pengeras suara. Di luar senja telah merembang. Sebentar
lagi kegelapan akan menyungkup bumi. Kendaraan-kendaraan di jalan masih
berseliweran. Selama dua tahun absen shalat, kini untuk pertama kalinya ia
menunaikan ibadah itu bersama kaum Muslimin lainnya yang berasal dari
berbagai negara. Ia merasa dadanya lebih sejuk kini. Ada rasa damai yang
menyelinap ke dalam hatinya.

Setelah shalat, ia terpekur dalam masjid. Khusyuk berdoa, memohon ampun
kepada Tuhan dengan air mata berlinang. Ia berjanji akan memulai hidup baru.
Pelan ia berbisik, "Terima kasih, Tuhan. Engkau telah membimbingku kembali
ke jalan Engkau yang lurus..."







                   * * * * *


read more “Lelaki di Massachusetts Avenue”
read more...

Mawar Untuk Ibu

read more...

Sabtu, 05 Juni 2010

Rachel Corrie,Mengenang Perjuangannya Untuk Rakyat Palestina

Rachel Corrie,Mengenang Perjuangannya Untuk Rakyat Palestina
Aktivis perdamaian berkebangsaan Amerika Serikat Rachel Corrie, baru berusia 23 tahun ketika sebuah buldoser Israel melindas tubuhnya pada 16 Maret 2003. Tujuh tahun kemudian, sebuah kapal pengangkut bantuan kemanusiaan yang dinamai sesuai namanya, MV Rachel Corrie, siap melanjutkan jejaknya membantu rakyat Palestina.Tidak perlu menjadi rakyat suatu negara untuk bisa berempati terhadap penderitaan mereka. Hal itu dibuktikan Corrie, seorang aktivis asal Olympia, Washington, AS yang menjadi martir ketika berusaha memblokade jalur dua buldoser dan satu tank Israel, yang akan menghancurkan perumahan lokal Palestina, Samir Nasrallah.

Bungsu dari tiga bersaudara yang menjadi anggota International Solidarity Movement (ISM) tersebut, terbunuh di Jalur Gaza selatan di Kota Rafah, saat sebuah buldoser militer Israel dengan sengaja meluncur tepat ke arahnya dan melindas tubuhnya. Menurut seorang dokter bernama Ali Mussa yang merawatnya, Corrie tewas dengan luka-luka di kepala dan kaki.

''Ia sedang berada di jalan yang akan dilalui buldoser tersebut. Jelas-jelas pengemudi buldoser itu melihatnya dan langsung menabraknya. Dia terlindas di bawah kendaraan itu,'' kisah Joseph Smith, seorang rekan aktivisnya.Pasukan pertahanan Israel mengklaim insiden tersebut terjadi karena keterbatasan sudut pandang pengemudi buldoser. AKan tetapi, surat kabar 'New York Times' mengatakan, Corrie dan para aktivis lain saat itu sedang bertindak sebagai ''perisai manusia''.Terlahir sebagai putri pasangan Cindy dan Craig Corrie, aktivis kelahiran 10 April 1979 itu mengambil cuti satu tahun dari pendidikannya di Evergreen State College, dan melakukan perjalanan kemanusiaan ke Jalur Gaza selama Intifada Kedua.

Semangat kemanusiaan rupanya mengalir deras di tubuh Corrie. Di tahun terakhir pendidikannya, gadis yang tumbuh dalam keluarga liberal dan berasal dari level menengah itu, mengajukan proposal program studi independen untuk melakukan perjalanan ke Gaza. Dia bergabung dengan para demonstran ISM dan menggagas proyek ''kota kembar'' antara Olympia dan Rafah.

Rekan-rekannya menggambarkan Corrie sebagai sosok yang menarik dan berterus-terang, namun tidak berusaha menjadi pusat perhatian. Colin Reese, teman sekamar Corrie, mengatakan sahabatnya itu bercita-cita menjadi penulis dan seniman.

''Rachel bukan orang yang terorganisasi dan rapi sedunia. Tetapi, jika sudah bicara soal upaya mencapai perdamaian, dia bekerja lebih keras dan lebih lama dibandingkan siapa pun,'' cetusnya.
read more “Rachel Corrie,Mengenang Perjuangannya Untuk Rakyat Palestina”
read more...

Perbedaan Bunga Raflesia arnoldii Dengan Bunga Bangkai

Rafflesia arnoldii
Merupakan tumbuhan parasit obligat yang terkenal karena memiliki bunga berukuran sangat besar, bahkan merupakan bunga terbesar di dunia. Ia tumbuh di jaringan tumbuhan merambat (liana) Tetrastigma dan tidak memiliki daun sehingga tidak mampu berfotosintesis.
Tumbuhan ini endemik di Pulau Sumatera, terutama bagian selatan (Bengkulu, Jambi, dan Sumatera Selatan). Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan daerah konservasi utama spesies ini.

Jenis ini, bersama-sama dengan anggota genus Rafflesia yang lainnya, terancam statusnya akibat penggundulan hutan yang dahsyat. Di Pulau Jawa tumbuh hanya satu jenis patma parasit, Rafflesia patma.

Bunga merupakan parasit tidak berakar, tidak berdaun, dan tidak bertangkai. Diameter bunga ketika sedang mekar bisa mencapai 1 meter dengan berat sekitar 11 kilogram. Bunga menghisap unsur anorganik dan organik dari tanaman inang Tetrastigma.

Satu-satunya bagian yang bisa disebut sebagai "tanaman" adalah jaringan yang tumbuh di tumbuhan merambat Tetrastigma. Bunga mempunyai lima daun mahkota yang mengelilingi bagian yang terlihat seperti mulut gentong. Di dasar bunga terdapat bagian seperti piringan berduri, berisi benang sari atau putik bergantung pada jenis kelamin bunga, jantan atau betina.

Hewan penyerbuk adalah lalat yang tertarik dengan bau busuk yang dikeluarkan bunga. Bunga hanya berumur sekitar satu minggu (5-7 hari) dan setelah itu layu dan mati. Presentase pembuahan sangat kecil, karena bunga jantan dan bunga betina sangat jarang bisa mekar bersamaan dalam satu minggu, itu pun kalau ada lalat yang datang membuahi.


Bunga Bangkai
Disebut juga suweg raksasa atau batang krebuit (nama lokal untuk fase vegetatif), Amorphophallus titanum Becc., merupakan tumbuhan dari suku talas-talasan (Araceae) endemik dari Sumatera, Indonesia, yang dikenal sebagai tumbuhan dengan bunga (majemuk) terbesar di dunia, meskipun catatan menyebutkan bahwa kerabatnya, A. gigas (juga endemik dari Sumatera) dapat menghasilkan bunga setinggi 5m.Namanya berasal dari bunganya yang mengeluarkan bau seperti bangkai yang membusuk, yang dimaksudkan sebenarnya untuk mengundang kumbang dan lalat penyerbuk bagi bunganya. Di alam tumbuhan ini hidup di daerah hutan hujan basah. Bunga bangkai adalah bunga resmi bagi Provinsi Bengkulu.

Tumbuhan ini memiliki dua fase dalam kehidupannya yang muncul secara bergantian, fase vegetatif dan fase generatif. Pada fase vegetatif muncul daun dan batang semunya. Tingginya dapat mencapai 6m. Setelah beberapa waktu (tahun), organ vegetatif ini layu dan umbinya dorman.

Apabila cadangan makanan di umbi mencukupi dan lingkungan mendukung, bunga majemuknya akan muncul. Apabila cadangan makanan kurang tumbuh kembali daunnya.

Photobucket
Bunganya sangat besar dan tinggi, berbentuk seperti lingga (sebenarnya adalah tongkol atau spadix) yang dikelilingi oleh seludang bunga yang juga berukuran besar. Bunganya berumah satu dan protogini: bunga betina reseptif terlebih dahulu, lalu diikuti masaknya bunga jantan, sebagai mekanisme untuk mencegah penyerbukan sendiri.
read more “Perbedaan Bunga Raflesia arnoldii Dengan Bunga Bangkai”
read more...

Minggu, 30 Mei 2010

Badai Matahari Akan Terjadi Antara 2012-2015

Badai Matahari Akan Terjadi Antara 2012-2015

Film fiksi ilmiah '2012' yang menceritakan tentang terjadinya badai matahari (flare) bukan isapan jempol belaka. Flare diperkirakan akan terjadi antara tahun 2012-2015. Namun, tak serta merta hal itu melenyapkan peradaban dunia. "Lapan memperkirakan puncak aktivitas matahari akan terjadi antara 2012 hingga 2015. Pada puncak siklusnya, aktivitas matahari akan tinggi dan terjadi badai matahari," ujar Kabag Humas Lapan Elly Kuntjahyowati dalam rilis yang diterima detikcom, Kamis (4/3/2010).


Flare tersebut, imbuhnya, merupakan salah satu aktivitas matahari selain medan magnet, bintik matahari, lontaran massa korona, angin surya dan partikel energetik. Ledakan-ledakan matahari itu, bisa sampai ke bumi. Namun, flare yang diperkirakan akan terjadi itu tak akan langsung membuat dunia hancur.

"Masyarakat banyak yang menghubungkan antara badai matahari dengan isu kiamat 2012 dari ramalan Suku Maya. Ternyata dari hasil pengamatan Lapan, badai matahari tidak akan langsung menghancurkan peradaban dunia," imbuhnya.Efek badai tersebut, lanjut dia, yang paling utama berdampak pada teknologi tinggi seperti satelit dan komunikasi radio. Satelit dapat kehilangan kendali dan komunikasi radio akan terputus.

"Efek lainnya, aktivitas matahari berkontribusi pada perubahan iklim. Ketika aktivitas matahari meningkat maka matahari akan memanas. Akibatnya suhu bumi meningkat dan iklim akan berubah," jelas Elly.

Partikel-partikel matahari yang menembus lapisan atmosfer bumi akan mempengaruhi cuaca dan iklim. Dampak ekstremnya, bisa menyebabkan kemarau panjang. Namun hal ini masih dikaji oleh para peneliti.

Lapan pun berniat mensosialisasikan dampak aktivitas matahari ini ke masyarakat. Sosialisasi Fenomena Cuaca Antariksa 2012-2015 pun akan digelar di Gedung Pasca Sarjana lantai 3, Universitas Udayana, Jl Jenderal Sudirman, Denpasar, Bali pada 9 Maret 2010 pukul 11.00 Wita.
read more “Badai Matahari Akan Terjadi Antara 2012-2015”
read more...